Harta dalam Pandangan Islam: Anugerah dan Pengujian - Abduh Al Baihaqi

Tadabbur, Parenting, Pendidikan, Psikologi

Breaking

Harta dalam Pandangan Islam: Anugerah dan Pengujian


Seseorang yang datang ke Masjid dengan membawa kendaraan, kemungkinan akan teringat akan kendaraannya saat shalat, apalagi jika terdengar suara alarm kendaraan yang berbunyi. Ketika seseorang pergi meninggalkan rumah, di mana terdapat banyak barang mewah dan harta benda lainnya, pemiliknya akan merasa khawatir jika terjadi pencurian.

Begitulah pengaruh harta terhadap sebagian besar manusia. Harta ibarat fatamorgana di depan mata, serta rantai besi yang membelenggu hati. Lihat orang yang rakus akan harta, ia akan terus mengejarnya tanpa kepuasan, karena yang ia kejar hanya janji dan angan-angan. Semakin banyak harta yang dikumpulkan, semakin banyak pula kekhawatiran akan kehilangannya. Kekhawatiran itu terus membelenggu jiwa, bagaikan rantai besi yang melilit tubuh.


Harta adalah anugerah Allah ﷻ kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, harta ibarat pedang bermata dua; satu sisi mendatangkan manfaat, sedangkan sisi lainnya mendatangkan bahaya. Salah satu bukti keindahan syariat Islam adalah ketika Allah ﷻ menetapkan aturan tentang harta, seperti zakat dan sedekah sunnah lainnya.


Dalam kitab Zadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam bab Sebab-sebab Kelapangan Dada, beliau menyampaikan bahwa salah satu sebab kelapangan dada adalah berbuat baik dan memberikan manfaat kepada sesama, termasuk dengan mendermakan harta. Beliau juga menyampaikan, bahwa orang yang dermawan termasuk orang yang paling lapang dadanya, suci jiwanya, dan baik hatinya. Sedangkan orang yang pelit termasuk orang yang paling sempit dadanya, merana hidupnya, dan paling besar kesedihan serta kegundahannya.


Rasulullah ﷺ pernah membuat perumpamaan antara orang yang bakhil dan orang yang gemar bersedekah, beliau bersabda:

مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ مِنْ ثُدِيِّهِمَا إِلَى تَرَاقِيهِمَا فَأَمَّا الْمُنْفِقُ فَلَا يُنْفِقُ إِلَّا سَبَغَتْ أَوْ وَفَرَتْ عَلَى جِلْدِهِ حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ وَأَمَّا الْبَخِيلُ فَلَا يُرِيدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلَّا لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ مَكَانَهَا فَهُوَ يُوَسِّعُهَا وَلَا تَتَّسِعُ تَابَعَهُ

“Perumpamaan bakhil dengan munfiq (orang yang suka berinfaq) seperti dua orang yang masing-masing mengenakan baju jubah terbuat dari besi yang hanya menutupi buah dada hingga tulang selangka keduanya. Adapun orang yang suka berinfaq, tidaklah dia berinfaq melainkan bajunya akan melonggar atau menjauh dari kulitnya hingga akhirnya menutupi seluruh badannya sampai kepada ujung kakinya. Sedangkan orang yang bakhil, setiap kali dia tidak mau berinfaq dengan suatu apa pun, maka baju besinya akan menyempit sehingga menempel ketat pada setiap kulitnya, dan ketika dia mencoba untuk melonggarkannya maka dia tidak dapat melonggarkannya”. (Shahih Bukhari hadis nomor 1352)


Saudaraku, rasa takut akan kehilangan yang memenuhi pikiran serta menyempitkan dada, dapat dihilangkan dengan saling berbagi. Karena orang yang berbagi sejatinya telah membuang ketakutannya, lalu mendapatkan kepuasan dan kelapangan dada. Pernahkah Anda menyaksikan orang yang suka bersedekah jatuh dalam kemiskinan karena sedekahnya? Yang sering saya saksikan justru orang yang kikir jatuh dalam kesengsaraan.


Lepaskanlah apa yang seharusnya Anda lepaskan, lepaskan dengan penuh kerelaan, niscaya Anda akan memperoleh kepuasan. Tangan yang penuh dengan roti tidak akan mampu menerima daging.


Wallahu A’lam Bis Showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar