Cahaya Ilmu - Abduh Al Baihaqi

Tadabbur, Parenting, Pendidikan, Psikologi

Breaking

Cahaya Ilmu


Masih ingatkah kita dengan cerita masa Jahiliyah yang diceritakan di banyak banyak kesempatan melalui lisan serta tulisan? Pada masa itu perjudian merajalela, perzinahan menjadi hal yang biasa, wanita terhina, yang lemah teraniaya, pertengkaran dan pertikaian kerap pecah, dan puncaknya adalah patung-patung pun disembah.

Kondisi pada masa itu ibarat Malam yang mencekam, kegelapan menyelimuti setiap sudut pandang. Manusia tak tahu bahaya seperti apa yang sedang mengintai di belakang, serta tak tahu kerusakan seperti apa yang menantinya di depan. Mereka tak tahu ke mana kaki harus melangkah. Bahkan ketika tangan mencoba meraba, mereka tak tahu apa yang harus menjadi pegangan tangan mereka.

Kegelapan barulah sirna ketika Cahaya terang tiba. Cahaya terang itu dibawa oleh sang pelita yang datang atas kehendak Allah, Rabb Alam Semesta. Pelita itu adalah baginda Rasulullah yang datang membawa  Cahaya Ilmu, Allah berfirman:

﴿هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّينَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ [الـجـمـعـة: 2]

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, [Al Jumu'ah:2]

Layaknya pelita yang sedang memancarkan cahaya yang sangat terang, sehingga kegelapan demi kegelapan pun sirna ditelan terangnya cahaya. Begitulah gambaran ketika Rasulullah datang dan mengajarkan Al-Quran, gelapnya kebodohan dan kezaliman pun sirna ditelan oleh cahaya Al-Quran.

 

Al-Quran Memerintahkan Untuk Membaca

Di antara sekian banyak ayat yang ada di dalam Al-Quran, ayat yang pertama kali Allah turunkan kepada nabi Muhammad berisi tentang perintah untuk membaca. Allah berfirman:

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

Dulu bangsa Arab adalah bangsa Ummiy (tidak membaca dan menulis). Maksudnya adalah sebagian besar dari mereka tidak menguasai keahlian membaca dan menulis, dengan catatan bukan dikarenakan ketidakmampuan mereka. Hal tersebut terjadi dikarenakan bangsa arab lebih banyak mengandalkan kemampuan hafalan mereka, sehingga maklumat cukup disampaikan dari mulut ke mulut dan disimpan dalam ingatan mereka. Oleh karenanya akan sangat sulit sekali kita jumpai manuskrip berupa teks dari masa sebelum kenabian Rasulullah Muhammad .

Cukup mengejutkan tentunya, jika kita mencermati dengan baik wahyu yang Allah turunkan pertama kali. Di tengah bangsa Arab yang tidak akrab dengan kegiatan baca tulis, justru wahyu yang turun pertama kali memerintahkan dengan sangat jelas untuk membaca. Pada penutup Wahyu pertama tersebut, Allah menutupnya dengan kalimat:

عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥

Dia mengajar kepada manusia apa-apa yang belum diketahuinya

Inilah Wahyu yang pertama kali Allah turunkan kepada Rasulullah , yang pada akhirnya mengubah secara total wajah bangsa Arab secara khusus pada awalnya, serta seluruh umat Manusia setelahnya.

Membaca adalah gerbang awal atau pemantiknya. Ketika proses membaca itu dilakukan dengan baik dan benar, maka Cahaya Ilmu akan muncul dan terus menyebar menerangi setiap ruang, serta menyibak kegelapan yang ada.

 

Cahaya Yang Diwariskan

Apa yang dibawa oleh Rasulullah berupa Cahaya Ilmu, terbukti mampu mengubah serta menerangi gelapnya masa Jahiliyah menjadi masa yang penuh kegemilangan. Sesungguhnya Cahaya itu tiada pernah padam, bahkan Cahaya itu beliau wariskan kepada generasi setelahnya, agar umat ini senantiasa beroleh petunjuk dan arahan di kala kegelapan datang menghampiri.

Rasulullah bersabda:

إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Jika hari ini kita menjumpai perselisihan dan pertikaian terjadi di mana-mana, maka sesungguhnya hal tersebut juga pernah terjadi pada masa Jahiliyah; Jika hari ini kita menjumpai perjulidan merajalela, maka sesungguhnya hal tersebut juga pernah terjadi pada masa Jahiliyah; Jika hari ini kita menjumpai kezaliman mendominasi, maka sesungguhnya hal tersebut juga pernah terjadi pada masa Jahiliyah.

Masalah yang sedang kita hadapi sekarang ini kurang lebih sama, hanya saja masa dan pelakunya berbeda. Maka seharusnya solusinya juga sama.

 

 

Al-Qur’an mengajarkan Apa yang Harus Dibaca

Perhatikanlah perintah Allah dalam ayat pertama dan ketiga surat Al-‘Alaq, perintah itu adalah perintah untuk membaca. Pernahkah Anda bertanya, apa sekiranya yang harus dibaca? Bukankah kata kerja “membaca” itu pada asalnya membutuhkan obyek? Persis seperti saat kita mengatakan “Saya membaca buku”, “Saya membaca novel”, dan sebagainya.

Dalam ayat tersebut obyek kata kerja membaca tidak disebutkan, sehingga maknanya menjadi luas. Artinya bacalah apa saja yang bisa dibaca, baik itu berupa tulisan ataupun yang lainnya. Begitu pula ketika ada kalimat “Makanlah apa yang Halal dan Thoyyib”, maka apa pun itu asalkan Halal dan Thoyyib boleh dimakan.

Syekh Abdul Majid bin Muhammad al Ghily Dalam sebuah kitabnya yang berjudul Kaifa Yubarmujul Quranu al Hayah (Bagaimana Al-Qur’an Memprogram Kehidupan) menyampaikan:

Tingkatan membaca itu ada 3, yaitu: 

  1. Membaca Kitabullah al Masthur (Wahyu), yang menyebutkan tentang penciptaan, hakikat kehidupan, dan akhir dari semua makhluk.
  2. Membaca Kitabullah al Mandzur (Alam Semesta), yang mengandung Sunnatullah di dalamnya.
  3. Membaca Kitabullah al Mansyur (Jiwa/sosial), yang mencakup jiwa Manusia serta hubungan sosial masyarakatnya.[1]

Apa saja yang sudah Anda baca? Atau sudah pada tahapan mana Anda membaca?

 

Al-Qur’an Mengajarkan Cara Membaca

Tidak hanya mengajarkan tentang apa saja yang harus dibaca, Al-Qur’an juga mengajarkan Umat ini bagaimana cara membaca yang baik dan benar. Perhatikanlah kembali ayat pertama dari surat Al-‘Alaq, buka lembaran Mushaf Anda, atau hadirkanlah dalam ingatan Anda ayat tersebut huruf demi hurufnya. Jika Anda tak mampu melakukannya, cukuplah Anda lihat apa yang ada di bawah ini:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ

Bacalah! Dengan nama Rabbmu

Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsirnya (At Tahrir wa At Tanwir) menjelaskan makna huruf ب dalam ayat tersebut, beliau menjelaskan bahwa ada tiga makna yang terkandung, yaitu:

  1. Makna lil isti’anah (meminta pertolongan), artinya bacalah dengan meminta pertolongan dari Rabbmu.
  2. Makna lil mushohabah (penyertaan), artinya bacalah dengan senantiasa menyertakan Rabbmu.
  3. Makna ‘ala (atas), artinya bacalah atas izin Rabbmu.[2]

Membaca butuh pertolongan dari Allah demi mendapatkan kemudahan; membaca butuh senantiasa menyertakan Allah agar mendapat bimbingan dan tidak tersesat di awal, pertengahan, atau akhir jalan; membaca butuh izin dari Allah agar mendapatkan keberkahan. 

Lalu bagaimana cara Anda membaca selama ini?

 

Tersesat Dalam Membaca

Anak kecil ataupun orang dewasa bisa membaca; orang beriman ataupun orang kafir juga bisa membaca. Namun membaca yang diinginkan oleh Allah bukan sekadar membaca tulisan di atas kertas. Lihatlah realitas hari ini, orang kafir atau Dunia Barat hari ini membaca, namun mereka tersesat. Kaum Muslimin hari ini sebagiannya juga membaca, namun kita tetap terkungkung dalam kejumudan dan terjajah oleh peradaban Barat.

Orang-orang kafir itu mencukupkan diri mereka hanya dengan membaca Alam Semesta serta psikologi Manusia. Mereka tak menyentuh tahapan pertama, sehingga mereka tersesat hingga terjerumus dalam jurang Ateisme atau tak percaya keberadaan Tuhan yang telah menciptakan.

Adapun kaum Muslimin yang sebagiannya membaca, mereka hanya mencukupkan diri pada tahapan pertama dalam membaca, yakni membaca wahyu yang tertulis. Bersamaan dengan hal tersebut, banyak di antara kaum Muslimin yang tidak paham dengan baik bagaimana cara membaca yang baik dan benar.

Ingatlah ketika Rasul kita meneteskan air mata ketika membaca ayat yang menjelaskan tentang penciptaan Langit dan Bumi, serta pergantian siang dan malam[3]. Perhatikanlah jawaban Rasulullah yang berbeda pada dua penanya, padahal pertanyaannya sama. Anak muda yang baru menikah sebaiknya tidak berciuman dengan istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Adapun untuk orang tua, silahkan[4].

Tetesan air mata saat membaca dan melihat Alam Semesta, apa lagi itu namanya kalau bukan membaca Kitabullah al Mandzur. Jawaban yang berbeda untuk dua orang yang berbeda, apa lagi itu namanya kalau bukan membaca Kitabullah al Mansyur.

 

Wahai Guru! Engkau adalah Pelita

Rasulullah diutus menjadi seorang nabi dan rasul, tugas utama beliau adalah menjadi seorang guru untuk umat ini, layaknya pelita yang terus memancarkan cahaya. Hal itu sangat jelas terukir dari lisan beliau yang mulia, beliau bersabda:

إِنّما بُعِثتُ مُعَلِّمًا

"Sungguh, aku hanya diutus sebagai muallim (guru/pengajar).” (HR. Ad Darimi).

Wahai para Guru yang mulia! Permasalahan yang dihadapi oleh umat ini sangatlah banyak dan beragam jenisnya. Kezaliman, fitnah, dan kegelapan hari demi hari semakin pekat.

Wahai Guru! Jadilah pelita yang terus memancarkan cahaya. Pelita akan terus memancarkan cahaya, jika ia tak pernah kehabisan sumbu serta bahan bakarnya.

Wahai Guru! Teruslah isi bahan bakarmu dengan membaca. Nyalakanlah sumbumu dengan usaha dan doa. Maka dengan begitu pancaran cahayamu tak akan pernah meredup dan sirna.

Wahai Guru! Engkau adalah pewaris nabi kita yang mulia. Dulu beliau menerangi umat dengan Cahaya Ilmu, maka terangilah umat ini dengan Cahaya ilmu. Wahyu yang pertama kali beliau terima adalah perintah untuk membaca, maka perbanyaklah membaca. Engkaulah orang yang mulia, karena engkau adalah pewaris nabi yang mulia.

Wahai Guru serta segenap kaum Muslimin! Bacalah sebagaimana Allah telah mengajarkan Bacalah sebagaimana Rasulullah telah mempraktekkan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين



[1] Kaifa Yubarmujul Quranu al Hayah, Syekh Abdul Majid bin Muhammad al Ghily, halaman: 30

[2] At Tahrir wa at Tanwir, Ibnu ‘Asyur, jilid: 30, halaman: 436

[3] Ibnu Mardawaih dan Ibnu Hibban menuturkan dari Sayyidah ‘Aisyah ra:

suatu malam Rasulullah SAW bertanya kepadanya, "Apakah engkau rela bila malam ini aku beribadah?" Aisyah menjawab, "Sungguh aku senang ada di sisimu, tetapi aku juga rela dengan apa yang engkau senangi." Rasulullah kemudian mengambil wudhu untuk sholat dengan membaca Alquran sampai menangis dan ikat pinggangnya basah. Selesai sholat, beliau duduk berdzikir memuji Allah dan air matanya terus bercucuran sampai lantai tempat duduknya basah.

Di Masjid, Bilal sedang menunggu Rasulullah. "Tidak biasanya Rasul terlambat datang ke masjid untuk sholat (sebelum) Subuh. Ada apa gerangan?" tanya Bilal pada dirinya sendiri. Kemudian, muadzin Masjid Nabawi tersebut mendatangi Rasul yang sedang menangis. "Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis? Bukankah seluruh dosamu telah diampuni Allah?" tanya Bilal.

"Wahai Bilal, bagaimana aku tidak menangis? Tadi malam, turun wahyu kepadaku:

 إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau- menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka.'" (QS Ali Imran: 190-191). Lalu beliau bersabda “Celakalah siapa yang membacanya namun tidak merenungkannya”.

[4]

وعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه: أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ، فَرَخَّصَ لَهُ، وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ، فَإِذَا الَّذِى رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ، وَالَّذِى نَهَاهُ شَابٌّ

 

Dari Abu Hurairah RA. beliau berkata: “Seorang lelaki menanyakan hukum bercumbu dengan istri saat puasa, dan Rasul membolehkannya. Namun saat lelaki lain menanyakan hal yang sama, beliau melarangnya. Orang yang dibolehkan adalah seorang tua, dan yang dilarang seorang anak muda.” (HR. Abu Dawud)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar